Minggu, 05 Januari 2020

Menemukan Jawaban

Genap dua bulan rumah tanpa ayah.

Bandara kemarin terasa sesak. Orang-orang pergi dengan terburu-buru, menyeret-nyeret koper setengah pinggul sambil berlari kecil. Memastikan bawaan tak ada yang tertinggal di bagasi taksi online. Di samping kanan saya ayah duduk sambil memangku kaki, melihat dengan seksama orang berseliweran di depannya. Mata tuanya mengikuti ke kanan dan ke kiri. Ketika ada orang yang merasa bawaannya melebihi aturan bagasi pesawat, sesekali ia bertanya kepada sepupu saya yang juga duduk di sebelah.

        "asjdyuwtuewdbwfw...?" tanya ayah dalam bahasa Nias.

Sungguh saya tidak tahu apa yang diucapkan ayah. Meskipun saya suku Nias, bukan berarti saya tahu segalanya dan bahasa. Pertanyaan ayah waktu itu kira-kira begini, "Punya kita melebihi ini kan? Apa itu?". Kemudian sepupu saya pun menjawab dengan bahasa yang sama dengan jawaban waktu itu begini, "Enggak yah, sedikit punya kita. Ini kotak isinya makanan". Ayah tampak ragu, kemudian melirik barang-barang di depan kami sekali lagi sambil memperbaiki posisi duduknya. Tapi, ketika ia melihat orang lain lagi yang sama bingungnya karena barangnya melebihi aturan bagasi pesawat, ayah kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. Begitulah ayah, belakangan ayah susah memahami meskipun kami sudah menjawab dengan jelas. Perlu berkali-kali agar rasanya pas saat dia mendengarkan.

Ada hal-hal yang tak pernah saya lakukan di depan ayah atau mungkin bersama ayah. Salah satunya menggenggam tangan ayah. Saya tidak pernah berani, merasa seperti pada saat momen apa saya harus menggenggam tangan ayah saya? Saya tidak pernah jalan-jalan dengan ayah layaknya anak dan ayahnya sehingga saya harus menggenggam tangan ayah. Ayah juga tidak pernah menginap di rumah sakit sehingga saya harus menggenggam tangan ayah. Saya juga tidak pernah bermanja-manja dengan ayah sehingga saya harus menggenggam tangan ayah. Hanya salam pamit tiap kali saya akan keluar rumah.

Di bandara itu, ketika semua terasa sesak, saya memberanikan diri menggenggam tangan ayah. Merapatkan jari-jari saya di situ dengan sangat lama. Menggenggam ayah ketika jalannya terlihat mulai terhuyung-huyung. Pada saat itulah saya punya kesempatan untuk menggenggam tangan ayah dengan sangat terjaga. Genggaman itu pun disambut ayah dengan rasa yang saat ini saya rindukan. Genggaman seorang anak yang tak ingin ayahnya cepat-cepat masuk ke dalam pesawat. Genggaman seorang ayah yang seakan berbicara kepada ketakutan saya, "ayah akan baik-baik saja".

Menggenggam Ayah

Pesawat ayah dan sepupu saya waktu itu sekitar pukul 12.50. Saat check in jadwal keberangkatan dipercepat satu jam. Kaki saya berat sekali untuk bangkit dari duduk. Seperti ada yang menahan saya untuk tidak beranjak. Tetap dengan genggaman di sela-sela jari ayah yang kian mengendur saat tiba waktunya ayah harus ke ruang tunggu pesawat. Tentu saja saya tidak bisa menemani ayah sampai sejauh itu, batas saya hanya sampai di sini di tempat ayah akan diperiksa dari ujung rambut sampai telapak kaki.

Ayah mengendurkan genggaman kami. Kemudian mata saya lebih dulu basah tertunduk. Susah sekali menyembunyikan kekhawatiran, saya belum bisa melawan itu. Sejurus kemudian saya sudah mendarat dipelukan ayah. Menangis sejadi-jadinya. Cengeng seperti tujuh belas tahun yang lalu saat ayah pergi ke luar rumah tanpa mengajak saya. Saya benar-benar tak ingin membiarkan ayah pergi tanpa saya. Saya takut. Ayah akan bagaimana di sana dan saya pun akan bagaimana di sini. Saya dengar dada ayah sama sesaknya, saya dengar kerongkongan ayah sama tercekatnya, saya dengar mata ayah menahan basah.

"Cepat pulang yah. Jangan lama-lama di sana".

Ayah belum menjawab, saya masih mendengar ayah sedang menahan emosinya. 

"Iya onogu..." jawab ayah dalam bahasa Nias.

Tahu tidak, ini juga pertama kalinya saya mencium kening dan pipi ayah ketika ayah sudah menjawab pesan saya. Ayah mengendurkan pelukan kami, seakan berucap, "sudah, ayah harus berangkat nanti terlambat".

Ayah sudah masuk ke dalam, berjalan dari ruang tunggu satu ke ruang tunggu lainnya. Tangis saya sudah membasahi bawah jilbab dan tentu dilihat oleh orang-orang yang lalu lalang. Tapi saya tidak malu, sebab mereka pun akan sama jadinya jika seperti saya tapi mungkin dengan sedikit kelebaian.

Ternyata menggenggam tangan ayah benar-benar menemukan jawaban. Memeluk ayah pun menemukan keihklasan.

Kita Bagi Dua

Sebaiknya, rindu ini kita bagi dua saja. Cemburu ini kita bagi dua pula. Pun jenuh ini juga sama, kita bagi dua saja. Tapi perihal cinta biar saya urus sendiri, kamu urus sendiri. Nyatanya, kita akan selalu jatuh cinta meskipun rindu, cemburu, dan jenuh menggerogoti percakapan-percakapan di suatu malam dingin yang kalut. Diantara halaman-halaman yang saya tulis, semoga selalu ada dada yang lapang menerima kekurangan, senyum yang menyejukkan menerima tangis, dan pelukan yang teramat hangat menerima semua tetangmu, tentang saya.

Kalau semesta mengijinkan, menua nanti, menjadi (kita) adalah sebuah rencana yang saya ingin, selamanya. Mari kita pikul semuanya berdua saja, tanpa bertiga ataupun berempat. Mari kita selalu bertahan di ujung pagi, siang, dan malam.

Bahagialah Soreku

Hidupku adalah dua mata cokelatmu
Mengatupngatup di tengah sorotan sore
Bercahaya di bawah kaki-kaki bulan
Bergerak liar mencari-cari senyumku yang duduk di depanmu
Ketemu!
Sorak matamu
Kudapati kian berbinar-binar
Senanglah hatiku
Bahagialah soreku, waktu itu

Soal Jarak

Jauh adalah soal jarak
Dan jarak hanyalah bilangan matematis
Yang membuat pikiran menjadi beban
Dan beban hanyalah pemicu kegundahan
Dan kegundahanku adalah rindu
Dan rindu hanyalah perihal ketika kita sedang jauh
Dan jauh adalah soal jarak

Jalan-Jalanlah

Di hidupmu,
Semuanya tak melulu
Tentang aku
Jalan-jalanlah keluar
Siapa tau nanti kau tersadar
Di hidupmu
Memang
Selalu
Tentang aku

Pastikan Kau Kehilangan Aku

Jika,
Suatu saat nanti
Kerongkonganmu tercekat
Nafsu makanmu turun, hari-harimu tak bergairah
Tidurmu tak lagi nyenyak
Mungkin kau sedang kehilangan

Jika,
Kau sedang kehilangan
Pastikan itu aku
Pastikan kau kehilangan aku
Pastikan kau sangat

Kehilangan aku

Tentang Melepaskan

Pilihkan aku tetesan embun yang paling dingin atau lebih memudahkanmu, pilihkan aku rintik hujan yang paling setia.

Kekasih, aku terlalu takut kau digigilkan rindu tanpa sengaja. Menyulam kasih sayang pelan-pelan untuk kemudian kau pakai di malam-malam rindu yang tak juga menyubuh. Kekasih, kukatakan cinta adalah penjelasan. Disebut dulu cinta adalah melepaskan. Haruskah ujung waktu nanti menemuiku untuk ikhlas tanpamu? Tak bisakah lidahku bernego dengan ujung waktu? Aku janji menjelaskan sebagaimana kuat saat gigiku yang rapat digigilkan rindu dan cemburu, sebagaimana kuat saat kelima jariku mencengkeram lenganmu di malam-malam kalut. Kekasih, tapi cinta tak sepolos rindu barusan. Bagaimana kujelaskan saat ujung waktu menemuiku di malam-malam rindu pula harus kulepaskan? Aku menolak itu, menampik kasar. Tentang cinta adalah melepaskan.

Katanya Aku sedang Berdo'a. Benarkah itu?

Malam damai tadi
rumah sudah tertidur
di luar gelap, di dalam gulita
sorotan sendu lampu teras
tajam, tapi tak melebar
aku berjingkat bangun
Ayah di ruang sebelah, tak ada dengkuran
kaki pendekku tegak di situ
hhh... kata napasku
tertutup, tak berbunyi, sunyi, tapi berangin
Tuhan, panjangkan lagi angka hidupnya
tawarku, semoga Tuhan setuju



14 Januari 2017 - Di depan kamar Ayah

Hujan Sore

Puisiku basah kuyup
Diterjang hujan sore sampai kemalaman
Dari jauh terdengar sayup-sayup
Sepotong cinta menggigil kedinginan



Dulu itu, tiga tahun yang lalu tepatnya, dia sedang memberitahu saya bahwa dia sedang menepi di jalanan sore sebab hujan tak mau mengalah. Saya hanya tertawa sambil sesekali menautkan khawatir di pesan singkat kami. Padahal perjalanan itu hanya dua jam saja, tapi baginya seperti berjam-jam lebih. Saya ingin begitu, kedinginan sore di tepi hujan dengan perjalanan dua jam. Tentu dengan dia. Memang, Medan-Berastagi seperti perjalanan romantis yang selalu saya idam-idamkan.

Ingin Lama

Aku ingin menetap lama
Tanpa mengenang dan dikenang
Karena sebuah"kalau" yang polos
Bisa menjadi paling kutunggu-tunggu
Sebentar,
Ini akan kujelaskan

Mengenang akan menjadikanmu pergi
Dikenang akan menjadikanmu tak kembali

Senin, 17 Agustus 2015

Kertas Rahasia

Kertas dari Siapa?

Buku bersampul hijau ini kubolak-balik halaman per halaman. Di dalamnya berisi teori-teori tentang bagaimana bumi terbentuk dan seisinya. Kertas folio di sebelahku masih kosong, yang baru kutulis hanya nama lengkapku, selebihnya putih bersih. Tugas dari perkuliahan membuatku muak. Tapi tetap saja aku selalu rindu kemuakanku ini ketika libur panjang menggerogoti hari-hariku. Apalagi yang bisa membuatku makan mie ayam sebanyak kemarin kalau bukan karena tugas sialan ini?

Jarum pendek di jam tangan hitamku masih setia berada di angka dua siang. Rasa-rasanya waktu berjalan sangat lambat, waktu seakan-akan mati. Sudah saatnya makan siang, makan mie ayam lagi pengusir kegusaran saat ini. Buku-buku ini menjadi tak berguna untuk saat ini, aku tak bisa konsentrasi, entah mengapa. Rasanya kakiku ingin berjalan, bukan duduk berjam-jam seperti ini.

Buku catatan harian kupegang, mencoba bangkit dari tempat duduk, bersiap meninggalkan meja neraka ini di perpustakaan, saat sedang berdiri, ekor mata kiriku menangkap sesuatu di atas meja, firasat mengatakan ada yang tertinggal. Baiklah, aku harus balik badan dan jleb!

Kertas persegi ini kupegang antara kekuatan tanganku dan kekuatan hati, aku membaca kalimat di kertas itu berulang-ulang. Aku membaca kalimat pertama di kertas itu.

"Ketika tragedi menghampiri hidupmu, ia akan menjadikanmu ke dalam dua kondisi, yaitu trauma kemudian dewasa."

Aku membaca kalimat kedua.

"Saat cinta datang dengan tiba-tiba, apakah cinta itu juga akan pergi dengan tiba-tiba suatu saat nanti?."

Aku menelan ludah, kertas yang sedang ku pegang saat ini mulai ku kendurkan dari genggaman, di bola mataku seperti ada sesuatu. Aku membaca kalimat ketiga.

"Saat cinta datang karena terbiasa, apakah cinta itu juga akan pergi karena terbiasa? Terbiasa disakiti misalnya?."

Lututku beku, tangan kananku mencari gagang kursi, aku harus duduk, keadaan sedang tidak baik, ya Tuhan dimana bangku tadi? Aku membaca kalimat keempat.

"Saat kau mengatakan bahwa kau bahagia tanpanya, ketahuilah bahwa kau sedang berbohong dengan sangat baik. Kau takkan bisa menjatuhkan dirimu ke dalam ke pelukan seseorang secepat sekarang ini. Hatimu belum benar-benar sembuh. Terkadang, masa lalu adalah rahasia kedewasaanmu di masa depan jika kau bisa mencerna masa lalu dengan bijak. Jangan memaksakan hatimu, cukup dengarkan hatimu. Cinta seperti sepasang sepatu, katanya. Jika kau berjalan dengan sepatu yang kekecilan atau kebesaran di kakimu, kau takkan pernah merasa nyaman menapaki indahnya dunia. Begitupun cinta. Jika kau tak nyaman dengan kehadirannya, kau takkan bisa merasakan indahnya dunia. Dengarkan hatimu, dengarkan dia."

Tenggorokanku saat ini tercekat, merasa perih di dalam, perutku bergerak, bukan aku tidak jadi lapar, perutku seperti ingin mengeluarkan sesuatu, pelupuk mataku basah. Aku berharap jangan ada yang jatuh di tulang pipiku.

Sial, air mataku jatuh.

Mataku turun ke bawah kertas, mencari tahu siapa yang menulis ini dan sengaja meletakkannya di dalam buku catatanku sampai hampir tertinggal di atas meja akibat buru-buru berbenah? Siapa?

Di bawah kertas itu tertulis sebuah huruf, hanya sebuah huruf dengan tinta warna hitam mengkilap.

Dadaku sesak. Ah, sial sial sial.

Minggu, 09 Agustus 2015

Siapa yang Memulai?

Cinta sepasang sepatu?


Siapa yang menghadirkan cinta
di antara kita?
aku atau kamu?
hadir menatap malu-malu
coba tanyakan pada lagu
mengapa cinta berwarna biru?
bukan ungu atau abu-abu

Siapa yang menghadirkan rindu
di antara kita?
aku atau kamu?
jangan menangkis rindu
rindu tak bisa di adu
rindu itu hantu

Siapa yang menghadirkan luka
di antara kita?
aku atau kamu?
terbang berlalu
pergi selalu
egomu lucu
menari bebas tanpa aku
bosan membelenggu
katamu, begitu

Siapa yang menghadiahi bunga layu?
di antara kita?
aku atau kamu?
coba tanyakan pada waktu
apakah Tuhan tahu?
tak semua yang indah bisa bersatu