Genap dua bulan rumah tanpa ayah.
Bandara kemarin terasa sesak. Orang-orang pergi dengan terburu-buru, menyeret-nyeret koper setengah pinggul sambil berlari kecil. Memastikan bawaan tak ada yang tertinggal di bagasi taksi online. Di samping kanan saya ayah duduk sambil memangku kaki, melihat dengan seksama orang berseliweran di depannya. Mata tuanya mengikuti ke kanan dan ke kiri. Ketika ada orang yang merasa bawaannya melebihi aturan bagasi pesawat, sesekali ia bertanya kepada sepupu saya yang juga duduk di sebelah.
"asjdyuwtuewdbwfw...?" tanya ayah dalam bahasa Nias.
Sungguh saya tidak tahu apa yang diucapkan ayah. Meskipun saya suku Nias, bukan berarti saya tahu segalanya dan bahasa. Pertanyaan ayah waktu itu kira-kira begini, "Punya kita melebihi ini kan? Apa itu?". Kemudian sepupu saya pun menjawab dengan bahasa yang sama dengan jawaban waktu itu begini, "Enggak yah, sedikit punya kita. Ini kotak isinya makanan". Ayah tampak ragu, kemudian melirik barang-barang di depan kami sekali lagi sambil memperbaiki posisi duduknya. Tapi, ketika ia melihat orang lain lagi yang sama bingungnya karena barangnya melebihi aturan bagasi pesawat, ayah kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. Begitulah ayah, belakangan ayah susah memahami meskipun kami sudah menjawab dengan jelas. Perlu berkali-kali agar rasanya pas saat dia mendengarkan.
Ada hal-hal yang tak pernah saya lakukan di depan ayah atau mungkin bersama ayah. Salah satunya menggenggam tangan ayah. Saya tidak pernah berani, merasa seperti pada saat momen apa saya harus menggenggam tangan ayah saya? Saya tidak pernah jalan-jalan dengan ayah layaknya anak dan ayahnya sehingga saya harus menggenggam tangan ayah. Ayah juga tidak pernah menginap di rumah sakit sehingga saya harus menggenggam tangan ayah. Saya juga tidak pernah bermanja-manja dengan ayah sehingga saya harus menggenggam tangan ayah. Hanya salam pamit tiap kali saya akan keluar rumah.
Di bandara itu, ketika semua terasa sesak, saya memberanikan diri menggenggam tangan ayah. Merapatkan jari-jari saya di situ dengan sangat lama. Menggenggam ayah ketika jalannya terlihat mulai terhuyung-huyung. Pada saat itulah saya punya kesempatan untuk menggenggam tangan ayah dengan sangat terjaga. Genggaman itu pun disambut ayah dengan rasa yang saat ini saya rindukan. Genggaman seorang anak yang tak ingin ayahnya cepat-cepat masuk ke dalam pesawat. Genggaman seorang ayah yang seakan berbicara kepada ketakutan saya, "ayah akan baik-baik saja".
Menggenggam Ayah
Pesawat ayah dan sepupu saya waktu itu sekitar pukul 12.50. Saat check in jadwal keberangkatan dipercepat satu jam. Kaki saya berat sekali untuk bangkit dari duduk. Seperti ada yang menahan saya untuk tidak beranjak. Tetap dengan genggaman di sela-sela jari ayah yang kian mengendur saat tiba waktunya ayah harus ke ruang tunggu pesawat. Tentu saja saya tidak bisa menemani ayah sampai sejauh itu, batas saya hanya sampai di sini di tempat ayah akan diperiksa dari ujung rambut sampai telapak kaki.
Ayah mengendurkan genggaman kami. Kemudian mata saya lebih dulu basah tertunduk. Susah sekali menyembunyikan kekhawatiran, saya belum bisa melawan itu. Sejurus kemudian saya sudah mendarat dipelukan ayah. Menangis sejadi-jadinya. Cengeng seperti tujuh belas tahun yang lalu saat ayah pergi ke luar rumah tanpa mengajak saya. Saya benar-benar tak ingin membiarkan ayah pergi tanpa saya. Saya takut. Ayah akan bagaimana di sana dan saya pun akan bagaimana di sini. Saya dengar dada ayah sama sesaknya, saya dengar kerongkongan ayah sama tercekatnya, saya dengar mata ayah menahan basah.
"Cepat pulang yah. Jangan lama-lama di sana".
Ayah belum menjawab, saya masih mendengar ayah sedang menahan emosinya.
"Iya onogu..." jawab ayah dalam bahasa Nias.
Tahu tidak, ini juga pertama kalinya saya mencium kening dan pipi ayah ketika ayah sudah menjawab pesan saya. Ayah mengendurkan pelukan kami, seakan berucap, "sudah, ayah harus berangkat nanti terlambat".
Ayah sudah masuk ke dalam, berjalan dari ruang tunggu satu ke ruang tunggu lainnya. Tangis saya sudah membasahi bawah jilbab dan tentu dilihat oleh orang-orang yang lalu lalang. Tapi saya tidak malu, sebab mereka pun akan sama jadinya jika seperti saya tapi mungkin dengan sedikit kelebaian.
Ternyata menggenggam tangan ayah benar-benar menemukan jawaban. Memeluk ayah pun menemukan keihklasan.